PKMK Bab 6
‘Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya...?’
Aku melihat kakakku dengan wajah yang sedih.
‘Tidak, sejujurnya, aku sudah memiliki firasat akan hal itu.’
Rambut merah yang cantik dan mata hijau berwarna emerald. Seorang primadona yang semenarik mawar dan diakui sebagai wanita tercantik di kekaisaran ini.
Hanya Yang Mulia Permaisuri yang memiliki daya tarik seperti ini.
‘...tapi, aku hanya tidak ingin mempercayainya. Aku telah menyangkal kebenaran, mengabaikan intuisiku sebagai firasat yang buruk.’
Tapi…
Ketika aku meletakkan kepingan-kepingan itu, puzzlenya cocok.
‘Penampilan anggun dan sikap percaya diri dia. Semua memancarkan aura keluhuran.’
Aku menggigit bibirku hingga aku tidak menyadari bahwa bibirku berdarah.
Dadaku terasa kosong seperti seseorang baru saja membuat sebuah lubang disana.
“Minta maaf kepada Lize.”
“...maaf?
“Melihat bagaimana tadi kamu mengejek Lize, aku tidak berpikir bahwa ada sesuatu yang salah dengan pendengaranmu.”
Mata hijaunya yang cerah menatap tajam kepada Becky secara mengejek.
Perkataan Sang Permaisuri terasa tajam.
“Bagaimana kamu tidak mengerti?”
“Ya-yang Mulia!”
“Jangan memanggilku dengan sembarangan. Sejak kapan aku memberimu izin untuk membuka mulutmu?”
Tatapan Sang Permaisuri berubah tajam.
Suasananya terasa suram, cukup untuk membuat semua orang gugup.
“Hanya seorang pelayan dalam pelatihan, tapi kamu berani untuk membantah kepada sang Permaisuri?”
“Ti-tidak, bukan seperti itu…!”
“Jika tidak, apakah kamu berpura-pura untuk tidak bisa mengerti perkataanku?”
Becky, yang memucat, menggelengkan kepalanya.
Dengan cepat, dia menoleh kepadaku dan berbicara dengan gigi yang digertakkan, “A-aku minta maaf Lize...”
“...tidak apa-apa. Aku yakin aku juga pernah menyinggungmu.”
Sejujurnya, aku bisa melihat bahwa permintaan maaf yang dipaksakan itu tidak tulus, tapi tetap saja, aku mencoba untuk menganggukkan kepalaku.
Sejujurnya, fakta bahwa Rose adalah Sang Permaisuri lah yang membuatku sangat terkejut sehingga aku tidak terlalu peduli dengan permintaan maaf Becky.
Menonton keseluruhan adegan ini, raut wajah Sang Permaisuri menjadi gelap saat dia melangkah masuk.
Aku tidak merasakan ketulusan dari permintaan maafmu.”
“Tapi…”
“Tentu saja, aku tahu. Aku tidak bisa menarik keluar hatimu untuk melihat apakah perkataanmu tulus atau tidak, tapi…”
Sang Permaisuri memeriksa Becky dari atas hingga bawah, seperti dia melihat sebuah kotoran.
Bibirnya terbuka.
“Bukankah seharusnya kamu menunjukkan ketulusanmu dengan menundukkan diri di lantai?”
“Ya-yang Mulia, tidak apa-apa…”
Aku menghentikan Sang Permaisuri untuk bertindak lebih jauh.
Ketika Permaisuri mendengar titel asing yang ku gunakan, bahunya menegang.
Setelah beberapa saat, dia melihat kembali kepadaku.
Wajah cantiknya terisi penuh dengan kegelisahan.
‘... sedang membuat ekspresi yang tersakiti…’
...tapi kenapa?
Aku mengepalkan tanganku dalam amarah.
Dialah orang yang telah menipuku.
Bibir merah ceri Sang Permaisuri terbuka saat dia menggelengkan kepalanya setelah menghela nafas panjang.
“Tidak, aku tidak merasa baik-baik saja dengan dia,” katanya. Nadanya terdengar sangat rumit.
Sang Permaisuri, yang baru saja mengatakan hal itu, melirik kembali ke arah Becky.
“Jika kamu tidak ingin dikeluarkan dari istana saat ini juga, lebih baik kamu meminta maaf hingga aku merasa yakin.”
“...”
“...”
“Apa maksudmu dengan mengeluarkannya dari istana?”
Kata-kata itu cukup mengejutkanku hingga membuatku lupa akan pengkhianatan yang ku rasakan.
“Jika kamu tidak akan melakukannya, kamu akan dikeluarkan dari istana. Kedepannya, tidak akan ada keluarga bangsawan yang akan menerimamu.”
“Maafkan saya! Maafkan saya, maafkan saya! Tolong, jangan keluarkan saya!”
Sosok Becky yang berdiri tersungkur ke kaki Sang Permaisuri, memohon belas kasihannya.
Namun, dia hanya membalikkan tubuhnya dari becky dengan tatapan lebih dingin dari udara musim dingin.
“Dengan permintaan maaf seperti itu, mustahil jika aku dan Lize akan merasa puas.”
“Yang Mulia…!”
“Tidak kah kamu melihat kesempatan yang sudah kuberikan kepadamu?”
Akhirnya, Becky tangisan Becky mereda saat dia merendakan dirinya di hadapanku.
“Lize, aku sungguh-sungguh ingin meminta maaf. Aku bersalah. Tolong maafkan aku.”
“...”
“Ma-maafkan aku.”
Becky bertekuk lutut, meminta pengampunan dari aku dengan putus asa.
Matanya, yang selalu terlihat galak, kini dipenuhi dengan air mata.
Aku menatapnya dengan ekspresi yang kosong.
‘Kamu selalu bertindak keras padaku. Kamu tidak pernah mendengarkan, tidak peduli seberapa banyak aku memohon.’
‘Kamu hanya meminta maaf karena terpaksa.’
Akhirnya, Sang Permaisuri memanggilku, “Lize.”
‘Ya?’, aku menoleh ke arah Sang Permaisuri dengan terkejut.
Dia melanjutkan perkataannya dengan suara lembut.
“Apa yang harus aku lakukan kepada pelayan dalam pelatihan itu?”
“Ba-bagaimana bisa aku berani untuk membuat keputusan untuk Sang Permaisuri.”
“Tidak, aku ingin mendengarkan pendapatmu,” ujar Sang Permaisuri sambil menggelengkan kepalanya.
‘...apapun yang aku inginkan?’
Pikiranku diliputi oleh kekhawatiran dengan kalimat ambigu itu.
Sejujurnya, sepertinya akan terlalu kejam bila mengeluarkannya.
Becky hanyalah seorang rakyat jelata sepertiku yang tidak memiliki tempat di luar istana.
Tapi, untuk melanjutkan seolah-olah tidak terjadi apa-apa…
‘... Aku tidak mau.’
Sudah berapa lama Becky menyiksaku… Sekarang, aku tidak akan membiarkan kelakuannya dilepas begitu saja.
‘Tidak akan terjadi!’
Aku berbicara dengan hati-hati, “Jadi,”
“Jadi?”
Sang Permaisuri menatapku dengan lembut, bersiap untuk memenuhi apapun yang ku inginkan. Kehangatannya membuat hatiku melembut, tapi…
‘...kamu tidak akan bisa menjadi Rose-ku lagi, bukankah begitu?’
Aku menelan kepahitan yang ada dan membuka mulutku.
“Satu tahun.”
“Huh?”
“Selama satu tahun, Becky akan ditugaskan membersihkan aula.”
Becky menaikkan kepalanya dengan terkejut atas hukuman ringan yang tidak terduga.
Aku melanjutkan, “Tapi, tugas untuk membersihkan aula dan tugas harian pelayan berbeda. Pastikan dia melakukan keduanya.”
“Apakah kamu yakin akan puas dengan itu?”
“Iya,” aku mengangguk dengan yakin.
Sang Permaisuri, yang sedang melihat melaluiku, memberikan perintah kepada kepala pelayan Hayden.
“Jalankan perintah sesuai dengan yang Charlize katakan, tapi potong setengah dari gajinya selama periode itu.”
Mendengar kata-katanya, mata Becky bergetar.
Tidak lama, dia menambahkan, “Dan promosi dia sebagai pelayan tetap akan di undur untuk tiga tahun.”
Wajah Becky memucat dan dia melemas.
Bisa dipahami karena gaji dari pelayan dalam pelatihan tidak banyak.
“Jika gajiku dipotong setengah, ku rasa aku akan memiliki ekspresi yang sama seperti itu.”
Ditambah lagi, promosi dia akan di undur selama tiga tahun hingga dia menjadi pelayan tetap.
‘Yang terpenting, Becky baru saja akan mendapatkan kenaikan jabatan.
Itulah sebabnya mengapa Becky tidak ikutkan saat pelayan dalam pelatihan dihukum saat tugas binatu.
Sang Permaisuri mengakhiri dengan suara tegas, “Ini adalah hukuman karena sudah mencoba membuat kesenjangan dan untuk menganiaya sesama pelayan dalam pelatihan.”
“Saya akan menjalankan perintah anda, Yang Mulia,” ucap kepala pelayan Hayden, sambil membungkuk dalam-dalam.
Sang Permaisuri dengan marah menatap Becky dan membuka mulutnya.
“Apa yang sedang kamu lakukan? Masih saja berdiri disini dihadapanku.”
“... Saya akan meninggalkan tempat ini, Yang Mulia.”
Becky bangkit dari duduknya dia terhuyung-huyung ke pintu masuk lorong dan menghilang di dalam kegelapan.
Kepergian itu meninggalkan kami berdua dalam kesunyian yang tidak nyaman.
Aku masih tidak tahu apa yang harus aku katakan, jadi aku menggigit bibirku.
Setelah beberapa saat, Sang Permaisuri mengalah dan memanggilku.
“Lize.”
“Ya.”
Aku menaikkan tatapanku secara berhati-hati.
Dia sedang melihat tanganku dengan kesukaran.
Aku sudah menyentuh air untuk waktu yang lama, sehingga tanganku mengkerut.
“Tidak apa-apa.”
Mendengar jawabanku, Sang Permaisuri muram.
‘Apakah aku menyinggungnya?’ Aku melihat ekspresinya dengan diam-diam.
Sang Permaisuri menggenggam tanganku.
Terkejut dengan tindakannya yang mendadak, aku menarik tanganku dengan insting.
“...”
“...”
Sang Permaisuri tidak memaksaku dan malah menurunkan tangannya yang terulur. Dia melihatku dengan tatapan yang sendu. Sang Permaisuri menarik nafasnya dalam-dalam sebelum menanyakan sebuah pertanyaan.
“Mengapa Lize selalu saja mengatakan bahwa dia baik-baik saja?”
“...”
“Aku tidak merasa baik-baik saja. Tanganku sakit…”
Dengan nada yang kesal, Sang Permaisuri melihat telapak tanganku yang terluka.
Aku menutup mataku dengan pelan.
Jika seperti dulu, hatiku akan merasa sangat gembira dari kebaikannya.
Tapi sekarang…
“Aku hanya diam karena aku tidak ingin membuat orang yang peduli terhadapku khawatir,” aku mengaku sambil menyembunyikan tanganku di antara rok gaunku.
Sang Permaisuri membuka bibirnya hanya untuk menggigitnya dengan keras, kehilangan kata-kata. Lalu, dia menunduk dengan rasa bersalah.
Melihat ekspresinya yang penuh rasa bersalah, perasaanku menjadi campur aduk.
‘Jangan melihatku dengan ekspresi seperti itu.’
Mengapa dia membuat wajah seperti itu?
‘Akan lebih baik jika kamu menertawaiku, mengejekku sebagai seorang anak bodoh yang bahkan tidak bisa mengenali Sang Permaisuri.’
Tapi ekspresinya membuat hatiku sakit.
‘...Aku kesal.’
Hatiku terasa dingin, lantas aku menutup bibirku.
Pada akhirnya, Sang Permaisuri berbicara dengan suara muram.
“Kalau begitu, mari kita bertemu lagi pada hari esok.”
“Maaf? Ah, baiklah.”
Aku mengangguk dengan bingung.
Comments
Post a Comment