PKMK Bab 3
Biasanya, Kak Rose dan aku bertemu dua kali setiap minggu.
Selasa dan Sabtu, dua hari ini adalah waktu yang telah kami tetapkan untuk pertemuan mingguan kami. Karena jadwal pelatihan yang padat, kakakku tidak memiliki pilihan selain berkompromi dengan jadwalku.
‘...Kakak, aku tidak bisa menemuimu Selasa kemarin. Sepertinya aku tidak akan bisa menemuimu hari ini juga...:’
Ekspresiku cemberut. Hal ini terjadi sesekali. Akan ada hari dimana kami tidak akan bisa bertemu. Tentu saja, Rose tidak pernah marah walaupun aku mengingkari janji kami, tapi aku tidak ingin dia menungguku dengan sia-sia.
Aku ingin menanyakan tentang tempat kerja dia di pertemuan kami sebelumnya. Aku sudah berencana menghubungi dia sebelumnya jika situasi seperti ini terjadi.
Namun, Kak Rose menolak untuk memberitahuku.
“Tidak apa-apa, Lize. Aku senang menunggumu,” ucapnya, senyumnya merekah seperti sebuah bunga mawar.
‘Jika kamu tetap tertawa, rasa bersalahku akan terhapus…’
Pikiranku melayang melihat senyumnya yang cemerlang.
“Tapi… Kak Rose, apakah kamu selalu menunggu walaupun aku tidak datang?”
“Iya, tapi tidak apa-apa. Aku bisa memikirkan tentang Lize sambil aku menunggu.”
“Huh? Apa yang sedang kamu bicarakan?”
“Yang aku maksud adalah, aku tidak keberatan menunggu Lize, jadi tidak usah khawatir.”
Rose memejamkan matanya sambil menyandarkan punggungnya. Melihat senyum puasnya, aku mengangguk, melupakan tujuan awalku.
Namun, aku menyesali tindakanku. Seharusnya aku bersikeras, karena tidak bisa terus seperti ini. Bersandar ke sapu besar yang menjulang di atas kepalaku, aku menyesal akan kelalaianku.
‘Apa yang harus aku lakukan? Kakakku sedang menungguku di taman hari ini… tapi aku tidak bisa datang, lagi.’
‘Seharusnya dia tidak membuang waktu untukku. Aku hanyalah seorang pelayan dalam pelatihan yang bahkan tidak memiliki posisi resmi. Pelayan lain juga tidak menyukaiku.”
‘Tapi, kenapa dia tidak mau memberitahu posisinya padaku?’ pikirku.
Akan lebih baik jika dia memberitahuku sebelumnya. Jadi, saat situasi seperti ini terjadi, dia tidak akan menungguku dengan sia-sia.
Saat aku mengkhawatirkan masalah ini, sebuah pikiran mengganggu terlintas di benakku.
‘Kalau dipikir-pikir, pelayan kelas atas mendapatkan banyak perhatian.’
‘Apakah Rose khawatir jika aku mau pergi ke istana yang sama dengannya? Mungkin dia takut dia akan kehilangan kebaikan kepala pelayan? Apakah itu alasannya mengapa dia menyembunyikan identitasnya dariku?!’
Ribuan spekulasi mengecewakan berdengung di pikiranku. Aku merasa mual, tubuhku meringkuk memikirkan Kak Rose yang menjauhiku.
‘Aku yakin aku tidak akan pernah membuatmu dalam masalah!’ Aku mencoba untuk berpikir positif sambil memuramkan wajahku dengan kejengkelan.
“Hey, Lize!” tanpa peringatan, sebuah kain pel kotor dilempar ke arah depanku.
‘Membuatku kaget saja! Mengapa seseorang melempar kain pel kotor ke lantai?!’
Aku melihat ke atas melewati sapu besar, Becky sedang berdiri di depanku dengan pakaian pelayannya. Aku menoleh ke wajahnya, melihat ekspresi tidak senangnya, aku jadi berkecil hati.
Masalahnya, setiap saat Becky sedang berada di keadaan seperti itu, dia akan melampiaskan amarahnya kepadaku.
“Kenapa kau masih berdiri disana? Apa gunanya mempertahankanmu, kalau kamu saja tidak bisa membersihkan tempat ini dengan benar!”
Seperti yang sudah diprediksikan, amarahnya terpicu dan dia mulai melontarkan kritik kepadaku.
Aku pun mengeratkan genggamanku karena kesal.
‘Dia terus saja menggangguku dan memakiku! Tidak bisakah dia melihat bahwa aku sedang menyapu lantai sekarang?!’
Tetap saja, aku menahan amarahku. Aku mencoba sebisaku untuk menghilangkan suara amarahnya. Aku tidak ingin membuat konflik lagi, oleh karena itu, aku menurunkan pandanganku, mencoba untuk menghindari kontak mata dengannya.
“Lambat sekali kau! Jika begini terus, kamu tidak akan bisa menjadi pelayan tetap!” ucap Becky kepadaku sambil menendang tumpukan debu yang sudah aku bersihkan, menyebarkannya kemana-mana.
‘Apa yang kamu lakukan?!’ tapi sebelum aku bisa menyuarakan keluhanku, dia memotong.
“Lagian, aku sedang mencarimu.”
Suara Becky berubah menjadi mengerikan, dan firasat buruk menyelimuti diriku.
Setiap kali Becky datang untuk menemuiku, dia akan selalu melempar tugasnya kepadaku.
Sayangnya, firasatku benar.
"Kepala pelayan menyuruhku untuk mengelap semua bercak kotoran di aula utama," ucapnya, dengan sebuah senyuman mengancam yang terpampang diwajahnya.
" …?"
'Apa hubungannya denganku? Bukannya aula utama adalah area dia?' pikirku. Aku melirik ke arah Becky. Senyumannya melebar, lalu dia berkata dengan tanpa malu, "Aku sibuk, jadi aku tidak bisa mengurus hal sepele seperti membersihkan aula. Itulah mengapa kamu yang akan mengurusnya."
"Apa?! Itu kan-"
"Apa? Apakah kamu sedang mencoba memberitahuku bahwa kau tidak bisa melakukannya?" nadanya meninggi mendengar 'ketidakpatuhan' ku
Matanya menatapku, melihat reaksi ku, siap untuk menyerangku jika aku menolak.
'Aku takut.'
Aku menggigit bibirku, mencoba untuk menyembunyikan ketakutanku.
Aku ingin membantah, 'Bukankah ini tugasku?'
'Aku hanyalah lima tahun dan dia sudah berumur delapan belas tahun, dimana itu adalah perbedaan usia yang besar! Walaupun pikiranku lebih tua, tapi fisikku masih seorang anak kecil. Bukankah ini keterlaluan untuk memberikan seorang anak tugasnya?!'
Tapi sejujurnya, dari dalam lubuk hatiku, aku bersyukur Becky tidak menyakitiku saat aku mencoba untuk menolaknya.
"Gunakan kain pel basah untuk mengelap aulanya dengan bersih. Kepala pelayan mengatakan padaku dia akan datang memeriksa nanti. Jadi, lebih baik kau lakukan tugasmu dengan benar."
"Juga, sapu debu-debunya dari lantai," Becky, menambahkan komentar ejekan, pergi melewati aku.
Aku menatap punggung Becky, dengan tatapan penuh amarah.
'Dia sungguh menjengkelkan!'
Namun, meskipun marah, aku mengambil kain lap basah itu dengan mendesah.
Aku ingin memberitahu kepala pelayan tentang penindasan ini, tapi…
'Bagaimana jika aku mengatakan sesuatu yang keliru dan kepala pelayan membenciku karena itu?'
Kepala pelayan memiliki wewenang untuk menunjuk pelayan dalam pelatihan di departemen baru mereka.
Tapi jika aku secara tidak sengaja mengusiknya dengan melaporkan kelakuan Becky, tidak ada yang akan bisa membantuku di masa depan.
Lebih baik menahan penindasan Becky daripada merusak masa depanku.
'Aku sudah sejauh ini, bukan?' Pikirku dengan positif.
'Pertama, aku perlu menyapu debu yang bertebaran lagi, lalu aku akan mengelap aulanya.'
Aku menyapu lantainya dengan susah payah. Setiap saat menyapu, tubuhku tergoyang mengikutinya arah sapunya.
Kakiku tersandung dan sapunya jatuh ke lantai sambil menarikku turun dengan beratnya.
'Sulit sekali untuk bekerja dengan tubuh yang mungil.'
Entah bagaimana, kekesalanku pada tinggi badan tubuh ini berhasil untuk menghilangkan pikiran burukku.
'Aku tidak sabar untuk tumbuh besar! Aku tidak tahan dengan ini lagi!' ucapku sambil bersungut-sungut.
Aku berjalan ke aula dengan ember penuh dengan air dan kain pel disebelahku.
'...Astaga…" seruku dalam kejutan.
Aku sangat terpukul melihat pemandangan di depanku.
Saat aku diberitahukan untuk membersihkan aula, aku berpikir kalau kotorannya adalah genangan air berlumpur atau beberapa bercak kotor.
'Apa yang sedang orang-orang lakukan disini? Apakah mereka berdansa di aula?' pikirku. Dengan begitu banyak bercak, aku akan membutuhkan setidaknya enam jam untuk membersihkan aula ini.
Bukankah ini terlalu berat untuk anak berumur lima tahun?'
'Hey, orang-orang dari dunia ini. Ini adalah eksploitasi perbudakan anak!'
"Hah… Apa yang sedang aku lakukan?" aku menggeleng kepalaku, mengusir pikiran-pikiran tidak penting.
Mengeluh tentang hal yang sudah terjadi hanya akan memperpanjang masalah ini. Aku pun berlutut di atas lantai sambil memulai untuk berfokus menyikat lantainya. Aku menyemprot air, mengikis tanah kering, memeras kain pel, membilas kain pel dengan air dan menggosok permukaannya untuk membuatnya licin.
Aku mengulang langkah-langkah tersebut kepada semua bercak kotoran di dalam aula.
"Aduh!" wajahku dengan tidak sengaja menatap pegangan kain pelnya. Hidungku berdenyut karena sakit.
Mendesah dalam kepasrahan, aku melihat tanganku dan menatapnya. Mereka semua memerah dan membengkak dari pekerjaan itu.
Aku menangis, menutupi ujung jari-jariku yang membengkak, "Sakit…"
'Aku ingin menyerah, tapi… Tidak! Aku belum selesai membersihkan aulanya,' dengan segera aku membuang pikiran itu jauh-jauh.
Aku menatap ke arah aula yang sebagian sudah bersih. Aulanya masih penuh dengan kotoran. Ditambah lagi, punggungku, yang sudah membungkuk seharian, terasa nyeri. Aku mengelap air kotor dari tanganku dengan celemekku dan memijat pinggangku untuk meredahkan nyerinya.
'Sepertinya aku tidak akan bisa tidur malam ini…'
"Lize?"
Sebuah suara bernada merdu berjalan melewati aula ke telingaku. Aku menoleh ke arah suara itu berasal.
Mataku terbelalak saat menyadari sesuatu, '...tunggu, bukankah itu suara Kak Rose? Kenapa dia ada disini saat ini?'
"Kak R-Rose!" di hadapan Kak Rose, aku bergegas meluruskan posisiku yang membungkuk.
Wajah menawan Kak Rose sangat berkontras dengan aula yang tertutup dengan kotoran. Namun, dia tidak peduli dengan hal lain. Matanya melihat ke sekelilingnya dengan wajahnya yang memuram.
"Bagaimana bisa hal ini terjadi lagi?"
"Kakak~"
Aku berlari menuju Rose, tapi langkahku terhenti.
'Ah!' mataku terbelalak karena terkejut. Aku tidak pernah melihat kakakku semarah ini.
"Lize, kenapa kamu disini sendirian?" suaranya lembut walaupun ekspresinya mengerikan. Mirip seperti saat-saat tenang sebelum badai.
"Huh? Itu…"
"...apakah kamu membersihkan aula yang luas ini sendirian?" dia bertanya, suaranya terasa lebih dingin dibandingkan angin utara pada tahun baru. Pasti ini karena kesalahanku.
"Uhm, kamu tau. Uhm…"
Aku ingin memberitahukan kebenarannya, tapi kata-katanya tersangkut di tenggorokanku.
'Tentu saja aku sudah banyak mengeluh kepada dia sebelumnya, tapi…!'
Disaat aku ragu-ragu, Rose menatapku dengan tatapan tajam, menuntut penjelasanku. Setelah beberapa saat, dia berkata, "Jika kamu merasa bersalah tentang hal ini, kamu tidak harus memberitahuku."
"Huh?"
"Kakak, apakah kamu memiliki kekuatan supranatural untuk membaca pikiranku?' Aku terkejut dengan tebakannya yang akurat.
"Walaupun kamu adalah pelayan dalam pelatihan, sangat tidak masuk akal untuk menugaskan anak sekecil ini untuk membersihkan aula."
"Yaa, ini adalah tugasku…" aku cemberut dalam kekalahan.
Walaupun Rose sudah memberitahuku berulang kali untuk tidak merasa bersalah jika aku tidak ingin melakukan tugas orang lain. 'Aku lebih khawatir dengan dirimu dibandingkan diriku.'
Comments
Post a Comment