JPSPU Bab 12

 

Translator: nadnad
Editor: Nox


 




“Maaf, aku tidak punya nafsu makan.”

“Anda akan jatuh sakit jika terus-terusan begini. Bagaimanapun juga, anda harus mandi dulu sebelum sarapan pagi,” kata Suzanne, menggenggam tangan Madenna dengan keras kepala.

Madenna dipaksa bangun dan jalan ketika bayangan miliknya terpantul di kaca dan mengikutinya.

Madenna yang terbalut dengan gaun berwarna hitam, rambutnya kusut, dan tatapan matanya kosong.  Pemandangan ini akan menyenangkan hati musuh-musuhnya..

“Benar.”

Satu bulan sudah berlalu sejak ibu Madenna, Luciola, meninggal.

Masih tidak dapat sepenuhnya mengatasi rasa sakit akibat kehilangan ibunya, seseorang yang Madenna sangat kasihi dan sayangi, Madenna mengurung dirinya di dalam mansion selagi berduka cita.

Suzanne adalah satu-satunya orang yang merawat Madenna, yang sepanjang hari tidur untuk menghadapi kenyataan pahit ini,

Semua pelayan, yang awalnya merawat Madenna dan memiliki hubungan yang baik dengan dirinya, berhenti bekerja karena berbagai alasan. Beberapa dari mereka tertangkap dalam tindak pencurian, yang lainnya kecelakaan menimpa mereka.

Sekarang setelah ibunya meninggal, hanya Suzanne yang bisa merawat Madenna.

Sarapan pagi sudah diletakkan di ruang tamu yang dipenuhi dengan cahaya matahari. Beberapa makanan sudah disajikan di atas meja.

Madenna duduk di kursi yang sudah disediakan oleh Suzanne, dan setelahnya para pelayan datang membawa telur dan jus.

Ketika Suzanne melihat Madenna hanya menusuk makanannya dengan garpu, dia berkata dengan suara yang halus, “Anda harus mengontrol perasaan anda, Countess. Sekarang anda adalah kepala keluarga Rodenherg.”

“...iya.”

“Apakah anda mau pergi berbelanja dengan saya hari ini? Kita bisa melepas pakaian berkabung anda dan menggantinya dengan gaun yang cantik!”

Komentar itu agak lancang. Tetapi, Madenna berpikir Suzanne mengatakan hal itu karena dia khawatir.

“Kita terus mendapatkan surat undangan ke pesta para bangsawan. Apa yang akan anda lakukan, Countess? Apakah anda akan menolak semuanya?”

“Iya, tolong lakukan itu…”

“Kalau saja saya bisa datang ke pesta itu, saya akan datang sebagai pengganti anda. Sayang sekali saya belum memenuhi syaratnya.”

Setelah mendengar Suzanne, Madenna tiba-tiba sadar, “Ah… benar. Aku sudah mempersiapkan pesta dansa milikmu untuk beberapa tahun, tapi perhatianku teralihkan karena pemakanan milik ibu.”

“Tentu saja, saya bisa memahami itu.”

“Anne, maafkan aku. Kamu pasti sudah berharap banyak. Kamu pasti kecewa.”

“Tidak masalah. Jangan pedulikan aku, Countess, anda harus menjaga kesehatan anda terlebih dahulu,” kata Suzanne. Mendengar keputusan Suzanne yang tidak egois, Madenna merasa lebih bersalah.

Memang benar bahwa dia patah hati karena kematian ibunya, namun bukan berarti dia bisa menelantarkan Suzanne.

“Benar. Ini sudah satu bulan. Aku harus mengontrol diriku sendiri,” Madenna menggelengkan kepalanya sambil bersandar ke kursi.

“Pertama-tama, aku akan mengganti pakaianku dulu. Setelah itu, mari kita pergi ke butik.”

“Terima kasih, Countess.”

“Ayo kita beli gaun yang paling indah dan mahal. Suzanne, kamu harus terlihat lebih cantik daripada yang lainnya.”

“Terima kasih atas kata-kata anda, tapi saya yakin semua orang akan mengejek saya apabila saya mengenakan pakaian yang lebih mewah dari Countess.”

“Kamu tidak perlu peduli apa yang dipikirkan orang lain. Aku akan lebih bahagia jika kamu yang memakai gaunnya. Gaunnya akan terlihat lebih indah jika kamu yang memakainya.”

“Tidak, Countess juga memiliki tubuh yang bagus. Tapi Countess memiliki warna rambut yang cerah, sehingga warna yang netral akan lebih cocok. Bagaimana dengan gaun berwarna navy atau coklat?”

“Iya, mari kita lakukan itu.”

Warnanya agak monoton untuk Madenna, yang belum tua. Namun, Madenna tidak mempertanyakan keputusan Suzanne. Karena sudah tertanam di pikirannya bahwa dia harus menjadi biasa saja agar Suzanne bisa menonjol.

“Kita harus memisahkan undangan pesta yang akan kita datangi dan tidak. Kamu harus melakukan banyak hal. Aku minta maaf karena sudah merepotkanmu, Suzanne.”

“Tidak, sudah sewajarnya karena kakak sedang berduka-” kata-kata Suzanne berhenti seraya dia menutup mulutnya.

“Oh, ya Tuhan.” Suzanne menghembuskan nafas dengan ngeri, wajahnya pucat ketakutan, sangat tidak sopan bagi Suzanne untuk memanggil Madenna, sang Countess, sebagai kakaknya.

“Maafkan saya, Countess. Saya menganggap anda sebagai kakak saya, jadi tadi saya tidak sengaja mengatakannya.”

“ Tidak apa-apa. Memang tidak baik jika kamu memanggil aku kakak di depan banyak orang, tapi kamu dapat memanggilku kakak saat kita sedang berdua. Aku juga menganggapmu sebagai adikku.”

“Kakak…”

“Ibuku sudah meninggal, bagiku kamu sudah menjadi keluargaku. Aku akan lebih banyak mengandalkanmu di masa depan.”

“Aku juga, kakak!”

Orang-orang dekat disekitar Madenna lambat laun menghilang, ibunya meninggal, dan Madenna menjadi semakin terisolasi tanpa menyadarinya. Perkataan Susan yang menganggapnya sebagai keluarga tentu saja membuat Madenna bahagia.

‘...iya, aku hanya punya Susan.’

Kepercayaan itu sangat menyedihkan dan tidak stabil.

Tapi pada saat itu, untuk Madenna, tidak ada cara untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.

***

“...heuk!”

Mata Madenna melebar, dan tubuhnya gemetaran saat dia mengambil nafas dengan susah payah. Seluruh tubuhnya berkeringat dingin.

“Itu hanya mimpi…”

Madenna memeluk dirinya sendiri. Kamarnya tidak dingin, tapi dia menggigil.

Mimpi itu datang ke Madenna untuk menegaskan kebodohan yang dulu dia lakukan.

Faktanya sangat tidak menyenangkan.

Mimpinya terasa sangat tenang. Akan tetapi, sekarang itu menjadi mimpi buruk bagi Madenna.

Dirinya yang bodoh di masa lalu tidak mengetahui apa yang sedang terjadi di belakangnya. Kematian ibunya. Orang-orang yang dia sayangi menghilang dalam sekejap. Pada akhirnya, bahkan hidupnya menjadi bayarannya.

Tanpa Madenna sadari, jari miliknya meraba-raba lehernya. Rasa lega menyelimuti dirinya saat dia menyadari bahwa dia masih hidup.

‘...tidak apa-apa, tenang. Belum terjadi apa-apa,’ Madenna bergumam pada dirinya sendiri sambil menenangkan hatinya yang resah. Mengenakan piyama, Madenna secara perlahan bangkit dari tempat tidurnya dan menuju ke arah ruang belajar yang ada di samping kamarnya.

Ketika dia membuka laci meja belajar, sebuah amplop berwarna hijau terlihat di bawahnya.

Ada lambang lambang sayap hitam di bagian luar amplop. Itu adalah simbol dari Stained Raven.

Amplop itu berisi laporan rutin kehidupan Susan.

[Tidak ada yang istimewa tentang target. Silahkan lihat di bawah ini untuk rinciannya.]

Yang tertulis di laporan itu adalah rincian tentang apa yang Susan lakukan akhir-akhir ini.

Kondisi Susan, perjalanannya, orang-orang yang dia temui ditulis dengan sangat rinci; namun, tidak ada hal penting lainnya.

Madenna membaca kembali isi surat yang sudah diperiksa kemarin, dan mimpi buruknya merupakan hasil dari tindakan yang ia lakukan.

Setelah menenangkan diri, pikiran Madenna menjadi kacau lagi.

Memang terlihat baik-baik saja, tapi Madenna tidak percaya “ketenangan” yang dilaporkan dalam surat itu.

Susan adalah orang yang cerdas dan berhati-hati. dia mungkin berperilaku baik sekarang, tapi tidak ada yang mengetahui kapan dan bagaimana dia akan menunjukkan cakarnya.

Keadaannya akan berbeda meskipun Madenna datang dari masa depan karena dia sudah memutuskan untuk tidak mensponsori Suzanne. Mulai dari saat itu, semuanya sudah berubah.

Madenna tidak percaya diri akan pengetahuannya tentang masa depan.

‘...tapi itu tidak apa-apa.’

Madenna menepuk pipinya dengan ringan dan meletakkan surat itu kembali ke posisi awalnya.

“Hari ini aku akan menandatangani kontrak darah. Kurasa itulah alasan kenapa aku resah.”

Sekarang Susan sudah tidak ada di kehidupannya.

Farren sudah menggantikan dia. Seseorang yang menurut Madenna bisa dipercaya.

Bersama Farren, Madenna bertekad untuk menciptakan masa depan untuk dirinya sendiri.

***

Saat Madenna sudah siap, dia menuju ke lantai bawah ke arah pintu masuk.

Farren, yang sudah menyelesaikan persiapannya, menunggu Madenna dengan tenang.

Dia mengenakan pakaian berwarna perak, sama seperti yang sudah Madenna instruksikan kepada para pelayan. Mantel berwarna indigo itu membuat fitur wajahnya lebih tampan meskipun dia masih muda.

Sebaliknya, Madenna mengenakan gaun berwarna navy gelap yang disulam dengan benang perak, dan dihiasi aksesori perak.

Tidak ada peraturan yang menyebutkan bahwa mereka harus mengenakan pakaian yang mirip saat menandatangani kontrak, tapi itu membuat acara terasa lebih formal.

Farren berlari mendatangi Madenna dengan senyum yang lebar saat dia melihat Madenna turun dari tangga spiral.

“Selamat pagi, Countess.”

“Selamat pagi.”

“Hari ini anda juga terlihat cantik.”

Farren memuji dirinya dengan kekaguman, namun reaksi Madenna sangat blak-blakkan.

“Kamu tidak perlu memujiku. Kamu tampak menakjubkan hari ini.”

“...saya mengatakan yang sebenarnya.”

“...benarkah…”

“Iya.”

Farren mulai merajuk ketika melihat reaksi Madenna yang dingin. Meskipun begitu saat Madenna mengulurkan tangannya, tangan Farren langsung meraih tangannya.

“Nona selalu mengenakan pakaian berwarna gelap. Apakah anda menyukai warna gelap?”

“Daripada menyukai...karena aku tidak terlihat bagus mengenakan pakaian berwarna cerah.”

“Apa?”

Farren mengedipkan matanya seakan-akan dia mendengar sesuatu yang tidak masuk akal.

“Saya tidak berpikir seperti itu sama sekali. Tentu saja, pakaian gelap milik anda memberikan kesan dewasa. Mereka terlihat bagus anda pakai, tapi saya juga ingin melihat nona mengenakan gaun yang cerah dan berwarna-warni.”

Madenna tertegun. Mengenakan pakaian berwarna gelap adalah kebiasaannya.

‘Sejak kapan hal ini terjadi…?’

Sebelum mensponsori Suzanne, Madenna memakai gaun berwarna cerah dan terang.

Tapi setelah mensponsori dia, pada titik tertentu, pakaian pilihan Madenna perlahan-lahan berubah menjadi berwarna gelap.

Tentu saja, bahan dan desainnya berkualitas tinggi dan dibuat oleh pengrajin kelas atas, tapi semuanya memiliki warna yang gelap.

‘Ketika aku pergi belanja dengan Susan, dia akan selalu menyarankan warna gelap.’

Madenna tidak keberatan maupun mengambil keputusan lain karena ia pikir ia tampil terbaik menggunakan warna gelap.

Perlahan, tanpa dia sadari, hal itu menjadi kebiasaannya untuk mengenakan pakaian seperti itu.

Di sisi lain, sekarang dia merasa canggung dan aneh jika mengenakan pakaian yang berwarna cerah.

“Yah, sudah lama sekali aku tidak memakai gaun berwarna cerah, jadi aku takut akan terlihat canggung jika aku mengenakannya.”

“Tidak akan canggung sama sekali. Akan terlihat cocok pada anda. Mari kita coba warna dan desain baru saat kita berikutnya pergi berbelanja.”

Madenna mengangguk atas permintaan Farren yang terus-menerus.

Dia memiliki ekspresi yang bangga seolah-olah dia sudah melakukan hal yang baik.

"Sekarang, mari kita berhenti mengobrol. Kita harus pergi. Akan lebih baik jika kita tiba di bait suci sebelum waktu sudah yang ditentukan."

"Iya, Countess."

Madenna berjalan keluar dari beranda, menggenggam tangan Farren seolah-olah dengan begitu, dia dapat menghapus segala hal yang sudah Suzanne lakukan kepadanya.

Comments

Popular Posts